Eksploitasi hutan di Jawa sudah dilakukan sejak era VOC. Sebelum tahun 1900, pengangkutan kayu jati dari area tebang hingga ke tepi sungai atau ke jalan raya ditarik dengan tenaga manusia atau ternak, lalu dihanyutkan ke sungai dengan rakit atau diangkut cikar sampai ke Tempat Penimbunan Kayu (houtstapelplaats).
Menjelang tahun 1900,
bersamaan waktunya dengan pembangunan jalur spur (kereta api), pengusaha
hutan swasta membangun pula jalur rel hutan yang lorinya di dorong oleh tenaga
manusia. Jalur rel hutan ini dibuat
melintas hutan menuju jalur spur atau jalan raya atau tepi sungai. Jalur rel hutan perdana tenaga manusia dibangun di persil (perceel) Tempuran Jawa
Tengah. Satu di lembah Kali Jorong
sampai ke Kali Tuntang dekat Kedung Jati, yang satu lagi di lembah Kali Watu
sampai ke Kali Tuntang dekat Ngambak.
Dengan ditinggalkannya cikar (ossenkar) untuk pengangkutan kayu hutan,
seperti yang dilakukan pengusaha hutan swasta, pengusaha hutan swakelola di
Jawa juga membangun jalur rel hutan tenaga manusia. Jalur rel (bi-rails track) hutan perdana dibangun
di houtvesterij (area kehutanan) Kradenan Utara Jawa Tengah tahun 1901-1902.
Namun demikian, jalur rel Boschwezen (swakelola/jawatan hutan) ini
kemudian dianggap tidak layak. Karena struktur
tanah hutan jati di Jawa yang tidak sama dan berbukit serta intensitas hujan
yang tinggi, maka membutuhkan investasi jalur pengangkutan dan persyaratan
teknis yang tinggi agar tidak menimbulkan kecelakaan ketika pengangkutan.
Oleh karena itu, pada tahun 1908-1909 HJL Beck (houtvester
Surabaya Utara) menggagas sistem
angkutan monorel hutan, yang dapat mengatasi kesulitan jalur rel hutan. Tingginya
investasi infrastruktur rel dan biaya pemeliharaan jalur, investasi untuk penggusuran tanah, juga hambatan
pengangkutan di musim hujan dimana jalur rel dan jalan darat tidak dapat
dilalui, dapat diatasi dengan sistem monorel.
Gagasan Beck kemudian di implementasikan oleh Van der Ven dari
houtvesterij Grobogan.
Konsep monorel hutan adalah satu rel dikokohkan (structure in
W-form system) diatas penopang kayu yang tidak sama panjang, sehingga tanpa ada
penggusuran tanah dan kayu penopangnya digunakan kayu yang bernilai
rendah. Monorel gantung ini mempunyai
kapasitas angkut sampai dengan 6 meter kubik atau setara dengan 5 ton kayu.
Mulai dari tahun 1909 sampai dengan 1915 dibangun beberapa jalur monorel
di houtvesterij Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Menurut informasi, jalur monorel digunakan di houtvesterij Grobogan, Undakan,
Monggot, Cepu, Djombang-Babat.
Namun sejak 1919-1920, monorel berangsur lenyap, digantikan oleh
jalur rel dengan penarik lokomotif uap
sejalan dengan sistem eksploitasi hutan yang berubah.
Rencana Ziarah Spoor untuk penelusuran kembali jalur monorel di Jawa terkendala dengan
minimnya informasi dan tidak adanya pemetaan yang di publikasikan.
(di tulis oleh Pramono dari Ziarah Spoor)
Pustaka informasi dan foto :
Sejarah Kehutanan Indonesia, by Departemen Kehutanan
Rich Forests, Poor
People: Resource Control and Resistance in Java, by Nancy Lee Peluso
FAO Corporate
Document Repository, Forestry Department
De Monorail van
Grobogan, Pentalpha nl.
Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute.nl
No comments:
Post a Comment